Rabu, 25 September 2013

Materi Perkuliahan Pemeriksaan Akuntansi

Berikut terlampir bahan mata kuliah Pemeriksaan Akuntansi Perguruan Tinggi Raharja

Untuk mendapatkan materi silakan didownload di link yang telah disediakan


Prosedur Audit Entitas Bisnis Kecil IAPI Download aah
Contoh Working Paper Download aah
Contoh Program Audit Download aah


Terima Kasih

Berikut terlampir bahan mata kuliah Pemeriksaan Akuntansi Perguruan Tinggi Raharja

Untuk mendapatkan materi silakan didownload di link yang telah disediakan


Prosedur Audit Entitas Bisnis Kecil IAPI Download aah
Contoh Working Paper Download aah
Contoh Program Audit Download aah

Silakan Sedoot gan Bezisokhi Waruwu

Materi Kuliah

Materi Pertemuan 1-6 pada Matakulia Pemeriksaan Akutansi

Berikut terlampir bahan mata kuliah pertemuan Pemeriksaan Akuntansi.

Untuk mendapatkan materi silakan diunduh di link yang telah disediakan

Pertemuan1 Download

Pertemuan2 Download

Pertemuan3 Download

Pertemuan4 Download

Pertemuan5 Download

Pertemuan6 Download

Pertemuan7 Download




Terima Kasih

Nawang Kalbuana
Berikut terlampir bahan mata kuliah pertemuan Pemeriksaan Akuntansi.

Untuk mendapatkan materi silakan diunduh di link yang telah disediakan

Pertemuan1 Download

Pertemuan2 Download

Pertemuan3 Download

Pertemuan4 Download

Pertemuan5 Download

Pertemuan6 Download

Pertemuan7 Download

Selamat bekerja dan semoga sukses

Selasa, 24 September 2013

Minggu, 08 September 2013

PENGANTAR LOGIKA DAN ALGORITMA DENGAN PASCAL


PENGANTAR LOGIKA DAN ALGORITMA DENGAN PASCAL

Pengertian LOGIKA:
Logika berasal dari bahasa Yunani yaitu LOGOS yang berarti ilmu. Logika pada dasarnya filsafat berpikir. Berpikir berarti melakukan suatu tindakan yang memiliki suatu tujuan. Jadi pengertian Logika adalah ilmu berpikir / cara berpikir dengan berbagai tindakan yang memiliki tujuan tertentu.

Pengertian ALGORITMA:
Pada Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, istilah algoritma diartikan sebagai prosedur langkah demi langkah untuk memecahkan masalah atau menyelesaikan suatu tugas. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan algoritma sebagai urutan logis pengambilan keputusan untuk pemecahan masalah.

Alat Bantu untuk menuliskan Logika dan Algoritma, salah satunya adalah FLOWCHART.

Pengertian FLOWCHART:
gambaran dalam bentuk diagram alir dari algoritma dalam suatu program atau prosedur sistem secara logika, yang menyatakan arah alur program dalam menyelesaikan suatu masalah.

Pedoman-pedoman dalam Membuat Flowchart:
  1. Bagan alir sebaiknya digambar dari atas ke bawah dan mulai dari bagian kiri dari suatu halaman.
  2. Kegiatan di dalam bagan alir harus ditunjukkan dengan jelas.
  3. Harus ditunjukkan dari mana kegiatan akan dimulai dan dimana akan berakhirnya (diawali dari satu titik START dan diakhiri dengan END).
  4. Masing-masing kegiatan di dalam bagan alir sebaiknya digunakan suatu kata yang mewakili suatu pekerjaan, misalnya:
-          "Persiapkan" dokumen
-          "Hitung" gaji
  1. Masing-masing kegiatan di dalam bagan alir harus di dalam urutan yang semestinya.
  2. Kegiatan yang terpotong dan akan disambung di tempat lain harus ditunjukkan dengan jelas menggunakan simbol penghubung.
  3. Gunakanlah simbol-simbol bagan alir yang standar.

Secara garis besar, Ada 3 bagian utama dalam flowchart :

Contoh:
Buat algoritma dan Flowchart untuk Menghitung Luas Persegi Panjang:

Pekerjaan:
Rumus:
LuasPersegiPanjang = Panjang x Lebar
Algoritma:
  1. Tentukan nama variabel yang akan menampung data Panjang, lebar dan luas persegi panjang.
  2. Masukkan (inputkan) data Panjang dan Lebar pada variabel yang sudah ditentukan.
  3. Hitung Luas persegi panjang.
  4. Tampilkan (outputkan) Luas persegi panjang.

Flowchart:
Latihan:
Buat algoritma dan Flowchart untuk Menghitung:
  1. Luas Segitiga
  2. Luas Lingkaran

IMPLEMENTASI DALAM PROGRAM
(Sebagai contoh: Bahasa Pemrograman Pascal)

Pengertian PROGRAM:
Kumpulan instruksi (statements) yang disusun secara logis untuk memecahkan suatu masalah. Instruksi-instruksi yang digunakan disesuaikan dengan jenis bahasa pemrograman yang digunakan (reserved word yang disediakan).

Stuktur Penulisan Pascal:
Program Nama_Program;
uses
     . . .  {Unit-unit yang dipakai} ;
label
     . . .  {label-label yang dipakai } ;
const
     . . .  {pengumuman tetapan-tetapan} ;
type
     . . .  { pengumuman tipe-tipe data };
var
     . . .  { pengumuman peubah-peubah };

procedure Nama_Prosedur;
begin
    . . .
end;

Function Nama_Fungsi;
begin
    . . .
end;

{  Program utama   }
begin
    . . .
end.


Perintah Input :
Perintah Pascal yang digunakan untuk memasukkan/menginputkan data.
Bentuk perintah:
Read dan Readln
Struktur penulisan:
Read(nama variabel);
Readln(nama Variabel)

Perintah Output:
Perintah Pascal yang digunakan untuk menampilkan/mengoutputkan data.
Bentuk perintah:
Write : setelah menampilkan data atau teks, kursor berada tepat disamping kanan data yang ditampilkan.
Write : setelah menampilkan data atau teks, kursor berada pada baris berikutnya.
Struktur penulisan:
write(nama variabel);
write(‘teks’);
writeln(nama Variabel);
writeln(‘teks’);

Contoh:
Buat program sederhana untuk Menghitung Luas Persegi Panjang:

Program LuasPersegiPanjang;
Var
Luas, Panjang, Lebar : integer;
Begin
Readln(panjang);
Readln(Lebar);Luas:= Panjang*Lebar;
Writeln(‘Luas Persegi  Panjang adalah:’,Luas);
Readln;
End.
Tampilan pada lembar kerja Pascal:


Menjalankan program dengan perintah:
Ctrl+F9(tekan tombol Ctrl dan F9 bersama-sama).

Apabila Panjang diisi 7 dan lebar diisi 8 maka hasil perintah diatas tampil sbb:

Latihan:
Buat program sederhana untuk Menghitung:
  1. Luas Segitiga
  2. Luas Lingkaran



STRUKTUR KENDALI  “IF’

Struktur kendali aliran adalah suatu bentuk/struktur yang memiliki peranan khusus  untuk mengatur aliran urutan pengerjaan operasi atau beberapa operasi tertentu.
Salah satu contoh pernyataan kendali yaitu pernyataan if .
Pernyataan if (if statement) akan memeriksa suatu persyaratan dan menentukan  apakah syarat tersebut benar atau salah, kemudian melakukan pekerjaan sesuai dengan nilai pernyataan tersebut.
Struktur Penulisan:
Berikut adalah bentuk-bentuk dari pernyataan if yang sering digunakan :
1.      If dengan satu pernyataan (statement)
If (kondisi) then pernyataan ;
2.      If dengan dua atau lebih pernyataan (statement)
If (kondisi) then
begin
   pernyataan1 ;
   pernyataan2 ;
   …..
end;
3.      If dan else
If (kondisi) then
begin
   pernyataan1 ;
   pernyataan2 ;
   …..
end
else
begin
   pernyataan1 ;
   pernyataan2 ;
   …..
   end;
Dari bentuk bentuk pernyataan if di atas yang harus diperhatikan adalah untuk pernyataan if dan else, pernyataan-pernyataan setelah then tanpa menggunakan “;”. Dengan kata lain jika pernyataan setelah then hanya terdiri dari satu pernyataan saja makan pernyataan tersebut tanpa menggunakan “;”, namun jika pernyataan setelah then terdiri dari lebih dari satu pernyataan makan setelah end tanpa menggunakan “;”.

Latihan:
Buat flowchart dan program sederhana untuk menampilkan bilangan terbesar

Menderita sebagai Kekuatan untuk Melawan Penderitaan


Allah yang Menderita sebagai Kekuatan untuk Melawan Penderitaan

1. Pengantar
Tema penderitan merupakan tema yang menggelisahkan. Setiap perjumpaan dengan penderitan seringkali melahirkan kepedihan dan rasa putus asa oleh mereka yang mengalaminya. Banyak pemikiran telah berkembang guna mencoba memahami arti dan makna penderitaan. Gereja sendiri misalnya mengajarkan bahwa Allah menciptakan dunia dan manusia karena kebaikan-Nya dan untuk membagikan kebahagiaan-Nya sendiri.[1]  Sungguh pun demikian, berhadapan dengan penderitaan pelbagai teori dan ajaran tetap tidak menutup seluruhnya penderitaan sebagai realitas yang menggelisahkan umat manusia.
Dalam perspektif kristiani, konsep penderitaan tidak dapat dipisahkan dari kenyatan dosa. Dosa merupakan akar penderitaan. Meski demikian, di sisi lain pemahaman penderitaan dalam Kitab suci juga memperlihatkan adanya penderitaan yang muncul bukan karena akibat dosa. Dalam dua konteks penderitaan ini, iman kristiani menemukan dalam diri Krsitus yang menderita sebuah dorongan untuk berkanjang dalam penderitaan. Paper ini mencoba melihat konsep penderitaan dalam hubungannya dengan Allah yang menderita. Allah yang menderita coba dilihat sebagai dasar bagi manusia dalam menjalani penderitaannya. Sebelum sampai pada usaha melihat konsep Allah yang menderita sabagai kekuatan bagi manusia melawan penderitaan, maka penting terlebih dahulu melihat tema penderitaan dalam Kitab Suci dan Tradisi Kristiani.
2. Penderitaan dalam Kitab Suci dan Tradisi Kristiani
2.1 Perjanjian Lama
            Kitab pertama yang bergulat dengan persoalan penderitaan adalah Kitab Kejadian. Dalam Kitab ini, kita menemukan sejumlah pertanyaan mengenai penderitaan dan kehidupan penuh perjuangan yang terjadi pada diri Adam dan Hawa setelah lepas dari keadaan berahmat[2]. Adam dan Hawa merupakan mahluk kesayangan Allah namun karena memilih untuk mengikuti kehendaknya sendiri mereka terpisah dari situasi berahmat. Tafsiran Kej. 2:4b-3:24[3] memperlihatkan bahwa manusia sebagai mahluk yang penuh konflik dan keretakan dalam dirinya. Tetapi situasi bukan karena manusia diciptakan dalam kondisi yang demikian, tetapi lahir dari kesalahan manusia. Kesalahan manusia itu terutama tampak di mana dia tidak percaya dan curiga kepada Allah. Ketidakpercayaan dan curiga akan Allah membawa manusia jatuh ke dalam dosa dan secara tragis merubah gambaran manusia tentang Allah.[4] Allah menjadi musuh yang mengancam manusia dengan kematian, sehingga manusia tidak dapat berbalik lepada Allah. Dengan kata lain, manusia akhirnya sungguh secara tragis terkurung dalam keadaan yang Malang. Dosa menimpa inti pribadi manusia dan itu dialami dalam hal-hal yang eksitensial, di mana manusia akan mengalami banyak kesusahan dan bukannya kebahagiaan seperti yang dimaksudkan Allah.[5] Wanita misalnya harus menderita karena melahirkan dan pria mengalami penderitaan dalam usahanya untuk mengolah dunia.
Akan tetapi, gambaran Perjanjian Lama rupanya tidak hanya menampilkan penderitaan sebagai konsekuensi dosa. Terdapat gambaran Kitab Suci yang memperlihatkan fakta penderitaan yang tidak berkaitan dengan dosa. Karena itu, harus diakui bahwa selain dosa, ada hal-hal lain yang menyebabkan penderitaan.[6] Rasa sakit karena memasuki masa tua misalnya. Rasa sakit ini bukan karena kesalahan manusia, sebaliknya menjadi tanda keterbatasan manusia.
            Dalam kacamata iman Perjanjian Lama, penderitaan dipandang sebagai rintangan.[7] Hal ini hendak menegaskan bahwa penderitaan dalam dirinya sendiri bukanlah tujuan yang hendak dicapai oleh manusa. Itulah sebabnya, iman Perjanjian Lama tidak memberi toleransi bagi penderitaan dan justru menganjurkan usaha untuk mengatasinya. Itulah sebabnya, dalam terang iman yang demikian, para imam, nabi dan orang bijak menyadari adanya nilai kehidupan yang hadir pada saat orang mengalami penderitaan. Nilai-nilai itu misalnya nilai silih dan pendewasaan, permurnian ( Yer 9:6; Mzm 65:10), nilai edukatif (Ay32-37) seperti teguran seorang Bapak (Ul 8:5; Keb 3:10). Dengan demikian, tampak ada sebuah gambaran yang bernada positif atas penderitaan, yakni bahwa melalui penderitaan mereka mencoba mengalami kehadiran Allah. Maka berkembanglah pemahaman bahwa penderitaan merupakan pencobaan bagi iman orang yang benar, ujian bagi hidup rohani dan kebenaran dan kasih kepada Yahwe.[8]
2.2 Dalam Perjanjian Baru
            Dalam Perjanjian Baru, realitas penderitaan dijumpai dalam berbagai peristiwa.[9] Pertama, penderitaan ditampilkan dalam konteks penderitaan Yesus. Ia menderita karena tidak dimengerti, pengkhiatan dan permusuhan, ketumpulan dan kekerasan hati manusia. Kedua, realitas penderitaan dihubungkan dengan para murid, baik karena ketidakmengertian akan ajaran Yesus maupun akibat takut dan dikejar-kejar. Ketiga, realitas penderitaan terungkap dalam peristwa penderitaan rasul Paulus. Paulus menderita dan menjalani penderitaannya dengan sabar selama menjalankan pelayanan. (bdk. 2Kor. 6:4-5).
Meski demikian, gagasan Perjanjian Lama tentang penderitaan  yang dihubungkan dengan dosa tidak hilang begitu saja. Sebaliknya, Perjanjian Baru juga memperlihat kaitan erat antara penderitaan dan dosa, baik itu dosa pribadi maupun dosa orang lain[10]. Contoh ketika Yesus menyembuhkan, Ia mengampuni dosa yang bersangkutan sebelum menyembuhkan badannya (Mk 2:5; Mt 9:2; Lk 5:20). Sebuah tindakan yang menunjukkan beberapa hal; pertama, menjadikan orang lain menjadi peka dan menaruh belas kasihan kepada sesamanya yang menderita sehingga penderitaan dikalahkan oleh kasih, kendatipun pribadi yang menderita kehilangan harapan, sakit hati, meratapi nasibnya dan sebagainya. Kedua, menemukan makna dari penderitaan yang dialami (pergilah dan jangan berbuat dosa lagi). Ketiga, kemenangan Yesus atas kejahatan. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa penderitaan selalu identik dengan dosa karena ada penderitaan lain yang bukan disebabkan oleh dosa melainkan karena keterbatasan dan orang lain (Mk 3:1-6; Mt 12:10-13).
Gagasan penderitaan dalam Perjanjian Baru mendapat nilai istimewa dalam hubungannya dengan salib Kristus. Hal itu terungkap dalam khotbah Yesus tentang pentingnya untuk memikul salib, yang didasarkan pada kehendak Allah. Yesus sendiri memberi teladan untuk itu, seperti yang terungkap dalam ketaatan-Nya untuk mati demi kehendak Bapa. Pemahaman ini membawa konsekuensi logis, yakni bahwa semua murid Kristus diundang untuk memikul salib dalam kehidupannya sehari-hari. Seruan ini berlaku untuk semua orang dan dalam semua bentuk penderitaan. Kandungan makna memikul penderitaan untuk mengikuti Yesus ini adalah untuk menunjukkan bahwa penderitaan bukan tujuan akhir hidup seorang murid Kristus. Partisipasi dalam salib Kristus hendak menegaskan bahwa dengan mengambil bagian dalam salib Kristus setiap murid Kristus mengambil bagian juga dalam kemulian Kristus.[11]
2.3 Dalam Tradisi Gereja
            Agustinus dari Hippo (354-430) mengatakan bahwa penderitaan yang kita alami di dunia ini mempunyai makna. Sebab penderitaan akan berguna bagi sesuatu yang belum kita kenal seluruhnya. Maka manusia perlu mengenal  rencana Allah, yang sudah mengatur semuannya pada tempatnya, sehingga semua aspek pengalaman dapat dinilai secara benar dan tepat. Disamping itu, Ia juga mengatakan bahwa ada penderitaan yang berada di luar rancangan Allah untuk mewujudkan dunia yang harmonis. Sebab di dalam dunia yang diciptakan, dapat saja terjadi hal-hal yang tidak direncanakan dan dikehendaki Allah. Namun sebagai pencipta, Allah memiliki kesanggupan untuk memulihkan penderitaan itu dengan menjadikannya sebagai sarana pembelajaran dan pertobatan, darinya manusia semakin mendalami rahasia ciptaan dan menekuni jalannya menuju Allah[12].
            Ireneus tidak menyangkal gagasan yang dikemukan oleh Agustinus. Ia mengatakan bahwa manusia selalu memandang penderitaan secara negatif. Mereka mempersoalkan penderitaan dan berupaya untuk menciptakan banyak ketenangan dalam diri. Padahal pada dasarnya penderitaan bukanlah hukuman tetapi syarat mutlak pertumbuhan kita menjadi anak-anak Allah. Penderitaan mendorong ciptaan-ciptaan-Nya mencapai tujuan kepenuhan dan kesempurnaan akhir dalam mengasihi dan melayani Dia[13].   Yohanes Krisostomus mengatakan bahwa penderitaan mempunyai fungsi untuk memberi silih, menguduskan dan memuliakan. Maka kemartiran dipandang sebagai jalan untuk mengikuti Yesus, awal dari kemuridan yang sempurna. Sehingga salib dilihat sebagai bentuk sempurna eksistensi Kristiani[14].
2.4 Konsili Vatikan II
            Penderitaan membuat manusia menyerupai Kristus (AA 16)[15]. Untuk menyerupai tugas Yesus Kristus Gereja harus melanjutkan karya penyelamatan Yesus Kristus di dunia ini demi tercapainya Kerajaan Allah. Harapan ini harus benar-benar terlaksana dalam sejarah (bdk. LG 1,9,48; GS: 1,11,45). Kepada mereka yang menderita, Konsili menyeruhkan supaya mereka menyatukan diri dengan sengsara dan kematian Yesus demi kebaikan mereka, gereja dan umat manusia ( LG 11). Bahkan dalam diri mereka yang miskin dan menderita terdapat gambaran diri Yesus (LG 7).
2.5 Paus Yohanes Paulus II[16]
            Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya tentang Salvifici Doloris mengupas makna penderitaan menurut gambaran PL dan PB. Pertama, penderitaan moral dihubungkan dengan rasa sakit di bagian tertentu; tulang ( Yes 38:13, Yer 23:9), ginjal (Mzm 73:21, Ay 16:13), Lever (Rat 2:11) sebab tak dapat disangkal bahwa penderitaan moral mempunyai unsur fisik, dan kerapkali mencerminkan keadaan seluruh organisme ( Art. 6). Kedua, Penderitaan terjadi karena kejahatan karena kekurangan dari kebaikan/dosa. Ketiga, perderitaan merupakan suatu ujicoba (bdk. Kisah Ayub). Keempat, penderitaan membangkitkan rasa belaskasihan karena mengenakan penderitaan sesama pada dirinya sendiri seperti yang dilakukan Yesus, rasa hormat dan menimbulkan rasa takut. Berkaitan dengan penderitaan menimbulkan rasa takut,  kita memerlukan dorongan hati untuk mengatasi rasa takut dan iman. Kelima, penderitaan dikalahkan oleh kasih Allah dan Yesus Kristus akan dunia. Dimana Yesus berperan penting lewat kematian-Nya di salib dan kebangkitan-Nya. Keenam, semua orang Kristen dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam penderitaan Yesus Kristus, lewat mana penderitaan manusiawi ditebus. Itu berarti menjadi terbuka pada karya kekuatan Allah yang menyelamatkan. Maka seseorang harus tabah, berani, beriman dan berpengharapan. Ketujuh, penderitaan menjadikan kita memiliki kematangan rohani.
3. Allah yang Menderita dan Dasar bagi Manusia Menghadapi Penderitaan
            Setelah melihat arti penderitaan dalam perkembangannya, dalam bagian ini kami mencoba memahami makna penderitaan tersebut dalam hubungannya dengan Allah yang Menderita. Allah yang menderita yang dimaksud di sini bukan dalam arti membongkar pelbagai atribut tentang Allah yang Mahakuasa, yang karena berhadapan dengan pelbagai penderitaan harus dipikirkan ulang.[17] Allah yang menderita di sini secara sederhana bermaksud untuk mengungkapkan bahwa Allah dalam cinta-Nya telah menciptakan manusia. Tetapi manusia yang pada giliranya menolak Allah dan jatuh dalam dosa. Dosa mengakibatkan manusia hidup dalam penderitaan. Allah  tidak ingin manusia tenggelam dalam dosa yang melahirkan penderitaan. Dengan maksud itu, Allah mengutus Putra-Nya untuk membawa kembali manusia kepada relasi yang sejati dengan Allah.  Kristus merupakan revelasi cinta Allah dan Salib Kristus merupakan puncak revelasi cinta Allah. Dalam Salib inilah kita menemukan Allah yang menderita karena Dia mencinta.[18]
            Namun, mengingat bahwa penderitaan manusia tidak melulu karena dosa, melainkan juga karena akar dan sebab-sebab lain, maka perlu kiranya makna Allah yang menderita ini dikonfrontasikan penderitaan tersebut. Maka bagian ini akan membahas dua hal penting. Pertama, Allah yang menderita dalam Salib Kristus: Silih atas Dosa Manusia. Kedua, Allah yang Menderita dalam Salib Kristus: Tanda Solidaritas Allah
3.1 Allah yang Menderita dalam Salib Kristus: Silih atas Dosa Manusia
            Penderitaan dalam konteks Teologi penciptaan tidak dapat dilepaskan dengan persoalan dosa dan kebebasan manusia(bdk. GS 13).[19] Manusia diciptakan seturut cintra Allah dan itu terungkap dalam kebebasannya. Konsili Vatikan II dalam dokumen Gaudium et Spes 17 menulis: “Kebebasan yang sejati merupakan tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia. Sebab Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri, supaya ia dengan sukarela mencari Penciptanya, dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan.” Selanjutnya teks menampilkan konsekuensi pemberian kebebasan pada manusia. Konsili menulis: “Maka martabat manusia menuntut, supaya dia bertindak menurut pilihannya  yang sadar dan bebas, artinya digerakan dan didorong secara pribadi dari dalam, dan bukan karena ransangan hati yang buta, semata-mata karena paksaan dari luar.” Di sini terungkap bahwa kebebasan sejati manusia terletak pada sikapnya yang tepat dalam memahami arti kebebasannya yang diberikan Allah, yakni bahwa hidupnya dalam kebebasannya terarah kepada sang Pencipta. Dengan demikian, panggilan manusia pada hakekatnya adalah menjadi serupa dengan Allah.
            Akan tetapi, manusia memilih untuk mengikuti kehendaknya pribadi.[20] Dia memilih untuk mengikuti kehendaknya sendiri dan melangkah ke luar dari panggilan dasariahnya untuk terarah kepada Allah. Sikap manusia yang memilih mengikuti kehendaknya sendiri membawa manusia kepada dosa. Dosa merupakan realitas putusnya relasi manusia dengan Allah. Karena kehendaknya sendiri manusia merusak relasinya dengan Allah sehingga keberadaannya merupakan keberadaan yang terarah kepada penghancuran relasi dengan Allah, diri sendiri, sesama dan alam. Manusia, karena pilihannya yang demikian menghasilkan penderitaan. Sebab dengan tidak hidup menurut rencana dia diciptakan manusia menghakimi dirinya diri sendiri. Dan sikap seperti ini lambat laun merusak hidup dan kebahagiaan manusia.[21] 
            Jatuhnya manusia dalam dosa membuat manusia hidup dalam realitas  kemalangan atau penderitaan. Sebab dengan dosa manusia melawan Allah yang sejak awal menciptakan manusia dalam keadaan yang baik.[22] Dosa membuat manusia kehilangan gambar Allah yang mencintai. Dosa membuat manusia tidak sanggup melihat Allah dalam hakikiatnya yang terdalam sebagai cinta. Manusia menolak memandang Allah sebagai dasar hidupnya. (GS 13). Lebih lanjut, hilangnya gambaran Allah sebagai penjamin dan dasar hidupnya membawa kepada konsekuensi pada gambaran Allah dalam hubungannya dengan penderitaan. Manusia akibat dosa tidak sanggup melihat Allah dalam kepenuhan cinta-Nya.[23] Maka berhadapan dengan penderitaan muncul sikap manusia yang memandang penderitaan sebagai kemurkaan Allah. Manusia tidak dapat mengakui bahwa sesungguhnya dia sendirilah yang menutup sumber kehidupan bagi dirinya sendiri. Manusia tetap tegar tengkuk dalam menilai Allah. Baginya, Allah adalah musuhnya, dan berhadapan dengan Dia, manusia diliputi ketakutan dan selalu membenarkan diri.[24]
            Lebih lanjut, dosa membuat manusia hidup dan berkembang menjadi mahluk yang hanya mengandalkan dirinya sendiri. Manusia dengan keliru melihat Allah sebagai pihak yang membatasi kehidupannya. Dia menjadi mahluk yang ingin untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan lepas dari Allah. Konsekuensi pendewaan atas dirinya sendiri manusia akhirnya berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri dengan cara mengambil segala sesautu yang dibutuhkan dari orang lain.[25] Oleh karena itu, dalam diri manusia berkembang kehausan tak terbatas akan kuasa dan kekayaan dan pada gilirannya memandang manusia yang lain sebagai saiangan. Manusi berusaha untuk menguasai orang lain dan melindungi dirinya sendiri. Akibatnnya dalam kehidupan umat manusia muncul penderitaan. Manusia satu samalain entar secara perorangan maupun perorangan menjadi musuh.[26]
            Akibat semua hal di atas adalah bahwa manusia akhirnya tidak dapat keluar dari pola lingkaran setan dengan dayanya sendiri. Manusia akan terus hidup dalam penderitaan dan kemalangan. Dan selama itu pula, manusia memiliki gambaran Allah sebagai Allah yang negatif dan tidak terlibat dalam perjuangan manusia. Allah dilepaskan dari penderitaan manusia, dan manusia berusaha mengatasi penderitaan dengan usahanya sendiri.[27]
            Meski demikian, Allah yang mencipta manusia dan mencintai manusia tidak luruh dalam gambaran keliru manusia. Allah yang dalam kedalamannya mencintai manusia dan menghendaki manusia hidup dalam kebahagiaan (bdk. GS 12). Dengan demikian, kita memahami bahwa dalam konteks penderitaan, Allah sesungguhnya bukanlah Allah yang murka terhadap manusia. Sebaliknya, dalam konteks penderitaan Allah merupakan Allah yang berbelas kasih, Allah yang mencinta.[28] Puncak dari pernyataan belaskasihan Allah adalah dalam perutusan sang Putra, Yesus Kristus. Kristus hadir dan mematahkan semua gambaran manusia yang negatif terhadap Allah. Dalam karyanya Ia telah menyembuhkan orang berdosa dan menderita akibat dosa (Mk 2:5, Mat. 9:2, Luk. 5:2). Sikap Yesus ini hendak menunjukkan suatu gambaran yang positif tentang Allah yang disapa-Nya sebagai Bapa.[29] Yesus ingin menampilkan Allah sebagai Bapa yang mengasih manusia dan mendekati manusia serta ingin berdamai dengan manusia.  Allah dalam Kristus adalah Allah yang berbelaskasih. Allah menampilkan diri sebagai Allah yang mencintai. Melalui Kristus, Allah mengundang manusia untuk sungguh melihat bahwa dalam penderitaan, Allah adalah Allah yang ingin menyelamatkan. Kehadiran Kristus seperti ini membuka horizon baru bagi penderitaan manusia, bahwa Allah tidak pernah meninggalkan manusia. Terhadap mereka yang menderita dan berdosa, Tuhan tetap menampilkan diri sebagai Allah yang baik, meskin manusia memilih menjauh dari Allah. Seluruh sikap Yesus ingin memperlihatkan sikap Allah Bapa yang baik dan positif terhadap semuar orang dan menampilkan Allah yang hendak memperbaiki dan memulihkan situasi manusia yang meneka dan menyusahkan mereka.[30]
            Puncak daya penyelamatan Allah dalam Kristus terungkap dalam Salib Kristus. Melalui penderitaan di salib, Allah dalam diri Putranya menyingkapkan cintanya yang terdalam bagi manusia yang menderita akibat dosa dengan cara memilih mengorbankan Pura-Nya. Allah memilih jalan menderita di Salib untuk mengangkat manusia dari dosa dan penderitaannya.[31] Apa yang terungkap dalam di sini adalah bahwa penderitaan manusia dalam salib Kristus tidak memiliki tujuan di dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, di dalam dirinya manusia  memiliki harapan akan berakhirnya penderitaan.[32]      Lebih jauh, penerimaan akan salib berbuah pada pembaharuan gambaran akan Allah. Lewat Salib Kristus, Allah hendak mengungkapkan bahwa gambaran manusia akan Allah sebagai musuh sesungguhnya tidak beralasan. Dosa yang telah mengaburkan gambaran manusia tentang Allah yang ingin membalaskan kejahatan dengan hukuman direstorasi oleh Kristus melalu salibnya.[33] Namun, restorasi yang dibuat oleh Allah lewat penderitaan Kristus Putranya tidak berhenti pada pembaharuan akan gambaran Allah. Dengan memilih menderita dalam Putra-Nya, Allah hendak membangun kembali persahatan dengan manusia seperti sebelum manusia berdosa. Bahkan Allah dalam Kristus yang menderita hendak mengatasi maksudNya semula menciptakan manusia. Dia sekarang tidak hanya hendak menciptakan sesuatu yang mengagumkan seperti saat Dia menciptakan dunia dan manusia, tetapi membaharuinya secara lebih mengagumkan.[34] Inilah makna Gereja yang mengalunkan madah pujian mengenai “felix culpa,” kesalahan yang menguntungkan.
            Salib Kristus yang menjadi tanda pembaharuan di sini dengan demikian memiliki makna dan nilai silih. Tetapi silih yang dimaksud di sini bukan dalam tataran pemahaman teori silih dari Anselmus. Teori ini menjelaskan bahwa karena dosa manusia, Allah menjadi marah dan tersinggung. Untuk memulihkan hubungan dengan Allah, manusia harus membayar denda. Namun manusia yang fana dan terbatas ini tidak sanggup untuk membayar silih atas dosa-dosanya itu. Karena itu, Putra Allah menjadi manusia untuk membayar silih atas nama manusia, dan sebagai Putra Allah, Ia mampu membayar silih yang tak terbatas dengan hidup-Nya yang terbatas.[35] Menurut kirchberger, pemahaman silih seperti ini terlalu bernada Yuridis dan mengabaikan asperk personalitas yang justru sangat kuat ditekankan oleh Kitab Suci.
            Silih yang dimaksud di sini dapat diumpamakan dengan silih dalam Perjanjian Lama di mana darah menjadi tanda utama dalam kurban silih. Dalam Imamat terungkap makna silih ini demikian: “Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa. Itulah sebabnya Aku berfirman kepada orang Israel: Seorang pun di antaramu janganlah makan darah. (Im. 17:11-12). Menurut Kirchberger, gambaran silih di sini bukan untuk menunjukkan bahwa Allah murkan. Sebaliknya, Allah melihat bahwa manusia demikian rusak akibat dosa, karenanya Dia ingin menawarkan sumber hidup baru bagi manusia dalam kurban darah. Dalam kurban ini, Allah memberikan milik-Nya yaitu darah, lambang hidup, di atas mezbah, agar manusia diperdamaikan. Salib Kristus dipahami dalam konteks ini. Artinya, Yesus sebagai Putra Allah rela menjadi kurban dan mencurahkan darah-Nya sebagai sumber hidup baru bagi manusia. Salib menjadi bukti bahwa Allah rela melalui Putra-Nya menjadi sumber hidup bagi manusia, sehingga manusia memiliki hidup dalam segala kelimpahan.[36]
Salib Kristus tidak hanya membawa dimensi kembalinya manusia kepada Allah. Tetapi pada saat yang sama, Salib Kristus menjadi dasar untuk berharap adanya perdamaian antara manusia dengan sesamanya.[37] Allah yang menderita membuka harapan bagi perdamaian antra manusia. Artinya terbuka harapan bahwa pihak yang menderita oleh ulah manusia yang lebih mementingkan kepentingannya sendiri, mau menerima dan membanguh perdamaian bersama.[38]
3.2. Allah yang Menderita dalam Salib Kristus: Tanda Solidaritas Allah
Akan tetapi muncul soal bagaimana dengan penderitaan yang tidak berakar pada dosa, seperti yang ditampilkan dalam diri Ayup? Apakah salib Kristus sebagai tanda Allah yang menderita dapat menjadi dasar baginya untuk berkanjang dalam penderitaan. Hal ini kiranya perlu dipahami secara tepat.
Dalam konteks ini barangkali secara tepat kita melihat arti anjuran konsili yang senantiasa melihat penderitaan dalam hubungann dengan Krsitus. Situasi penderitaan secara antropologis harus dipahami secara kristologis.[39] Dengan demikian, senada dengan anjuran konsili itu berarti dalam seluruh dinamika penderitaan manusia, manusia perlu untuk menyatukan diri dengan sengsara dan kematian Yesus(LG 11). Itu berarti Salib Kristus sebagai revelasi cinta Allah juga berlaku bagi penderitaan yang seperti ini. Sebab, di salib Kristus telah menampilkan Allah yang menderita karena cinta dan dengan demikian membuka harapan bahwa penderitaan bukan sesuatu yang kekal. Radikalitas Allah yang menderita di sini terungkap dalam kenyataan bahwa dalam penderitaan kita, Allah mengambil bagian atau solider dengan penderitaan itu dengan memilih menderita. Kalau Allah telah memilih untuk menanggung penderitaan maka itu berarti martabat manusia merupakan martabat yang bernilai.[40] Inilah yang kemudian menjadi dasar dari manusia untuk resisten terhadap penderitaan. Bagi manusia, bersedia menanggung penderitaan berarti siap melewan penderitaan,[41] sekaligus juga mengungkapkan dalam dirinya sikap penyerahan diri. Artinya penderitaan sekarang dilihat sebagai persembahan diri manusia kepada Allah.[42]
Penderitaan sebagai penyerahan diri bukan berarti manusia bersikap pasif. Sebaliknya, secara aktif menerima penderitaan atau bergumul dengan penderitaan. Sebab, di balik penderitaan, seperti yang ditampilkan oleh Kristus terkandung rahmat. Artinya, di balik penderitaan, Allah yang telah menderita dalam salib Kristus memberikan harapan pada manusia bahwa penderitaan tidak menjadi tujuan sebaliknya menjadi sarana kesempurnaan.[43] Melalui penderitaan yang dipandang dari perspektif salib Kristus, terungkap  sebuah undangan bagi manusia untuk mengalami penderitaannya sebagai partisipasi dalam penderitaan Kristus. Justru di sinilah terungkap keyakinan dasar kristiani, yakni keyakinan bahwa salib membawa manfaat atau arti bagi manusia. Di sini manusia dipanggil untuk bergumul dengan penderitaan dalam perspektif Kristus yang memberi penebusan.[44]   
Dengan demikian, penderitaan yang tidak berakar pada dosa yang tidak juga sepenuhnya dapat dipahami akarnya tidak lantas tidak menemukan maknanya dalam Salib Kristus sebagai tanda Allah yang menderita. Setiap penderitaan bagi yang menaruh iman akan Kristus meminta darinya sikap untuk mengikuti Kristus dalam jalan salibnya. Salib dengan demikian tidak dapat tidak menjadi bagian yang intergral dari proses pendewasaan dalam iman. Penderitaan menjadi realitas yang tidak dapat dipisahkan dan karenanya tidak dapat dihindari. Penyerahan diri kepad Kristus menuntut manusia untuk mengambil bagian dalam penderitaan-Nya dengan memikul dengan setia penderitaannya.
4. Penutup
            Dosa membuat membuat manusia hidup dalam realitas penderitaan. Dalam penderitaan akibat dosa, manusia sering kehilangan gambaran Allah sebagai Allah yang mencintai manusia. Penderitaan kerapkali dipandang sebagai balasan dari Allah dan menilai Allah menghendaki penderitaan sebagai balasan atas dosa. Dosa demikian kuat membuat Allah sulit diterima dalam realitas penderitaan.
            Kristus merupakan kehadiran Allah di dunia. Kehadiran-Nya mempresentasikan kehadiran Allah yang sesungguhnya menghendaki manusia hidup dalam kebahagiaan. Puncak seluruh revelasi Allah dalam Kristus hadir dalam peristiwa Salib. Dalam salib Kristus Allah hadir sebagai Dia yang menderita untuk mengembalikan manusia ke martabatnya sebelum berdosa, bahkan tidak itu saja mengangkat sekaligus memberi arti baru manusia sebagai anak Allah dalam Kristus. Selain itu, Salib Kristus sebagai Allah yang menderita juga menjadi tanda solider Allah atas manusia yang menderita. Lewat jalan menderita, Allah menampilkan bahwa manusia memiliki nilai yang luhur. Solider Allah yang mau menderita inilah yang menjadi dasar bagi manusia untuk bertahan dalam penderitaan.




 Daftar Pustaka

1.      Dokumen Konsili Vatikan II, (terj. R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: DokPen KWI dan Obor, 1993
2.      Handoko, Petrus Maria, Dr.Dicipta untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental (Teologi Penciptaan), Malang: STFT Widya Sasana, 1987
3.      Kirchberger,G., Dr SVD, Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia, Ende: Nusa Indah, 1986
4.       ---------, Salib Kristus, Derita Manusia dan Kehendak Allah, Orientasi Baru Pustaka Filsafat  dan Teologi No. 7 tahun 1993, Yogyakarta: Kanisius, 1993
5.      Kleden, Paul Budi SVD, Membongkar Derita, Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi, Maumere: Ledalero, 2006
6.      Konfrensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan referensi, Yogyakarta: Kanisius dalam kerjasama dengan Penerbit Obor, 1996
7.      Powel, John SJ, Visi Kristinai, Yogyakarta: Kanisius, 1997
8.      Taylor, Michael,l Dilarang Melarat ( Narasi Teologis Tentang Kemiskinan), Yogyakarta: Kanisius, 2007
9.      Yohanes Paulus II, Menjadi Manusia Baru dalam Kristus: Yubelium Agung Tahun 2000 (Ed. Paul Thigpen), Yogyakarta: Kanisius, 1997
10.  ----------, Salvici Doloris: Penderitaan yang Menyelamatkan, Jakarta: DokPen KWI, 1993


[1] Konfrrensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan referensi, (Yogyakarta: Kanisius dalam kerjasama dengan Penerbit Obor, 1996) hlm. 157
[2]  John Powel, SJ, Visi Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 116
[3] Bandingkan kesimpulan Kirchberger perihal Kej. 2:4b-3:24 yang berasal dari tradisi Yahwista. Dr. G. Kirchberger, SVD, Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia, (Ende: Nusa Indah, 1986), hlm. 27-28
[4] Ibid
[5] Ibid, hlm 26
[6] Dr. Petrus Maria Handoko, Dicipta untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental (Teologi Penciptaan), (Malang: STFT Widya Sasana, 1987), hlm. 59.
[7] Ibid
[8] Ibid, hlm. 60
[9] Bdk. Uraian Dr. Petrus Maria Handoko, Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid hlm. 61
[12] Paul Budi Kleden, SVD, Membongkar Derita Teodice:Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi, (Maumere: Ledalero, 2006), hlm. 90-98
[13] Michael Taylor, Dilarang Melarat ( Narasi Teologis Tentang Kemiskinan), (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm.35
[14] Dr. Petrus Maria Handoko, Loc, Cit, hlm.61
[15] Dr. Petrus Maria Handoko, Ibid, hlm.62
[16] Paus Yohanes Paulus II, Salvici Doloris: Penderitaan yang Menyelamatkan, (Jakarta: DokPen KWI, 1993)
[17] Lih. Kleden, Op.Cit, hlm. 229-262
[18] Ibid, hlm. 325
[19] Kirchberger memperlihatkan kaitan dosa dan kebebasan dengan melihat tradisi Yahwista yang berbicara tentang Penciptaan dan jatuhnya manusia dalam dosa. Ia Menulis: “Kita boleh menyimpulkan bahwa dalam Kej. 2-3, Y (yahwista) mau menjelaskan atau memperlihatkan inti dan sikap dasar umat manusia sebagai mahluk kesayangan Allah yang tidak setia kepada Allah dan dengan demikian memasuki satu situasi terkutuk, di dalamnya ia meruskan diri dan dunia sekitarnya.... Menurut Y kejahatan manusia itu bukan merupakan unsur integral keberadaan manusia. Manusia tidak diciptakan dengan kejahatan. Tetapi kejahatan berasal dari keputusan bebas manusia sendiri.” Lih. Kirchberger, Op.Cit., hlm. 17.
[20] Dokumen Konsili Vatikan II, (terj. R. Hardawiryana, SJ), (Jakarta: DokPen KWI dan Obor, 1993), khususnya dokumen Gaudium et Spes 13: “ Akan tetapi manusia, yang diciptakan oleh Allah dalam kebenaran, sejak awal mula, atas bujukan si Jahat telah menyalahgunakan kebebasannya. Ia memberontak melawan Allah, dan ingin mencapai tujuannya di luar Allah.”
[21] G. Kirchberger, Salib Kristus, Derita Manusia dan Kehendak Allah, Orientasi Baru Pustaka Filsafat  dan Teologi No. 7 tahun 1993, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 99
[22] Ibid
[23] Kirchberger memperlihatkan gambaran ketidakmampuan manusia untuk melihat kebaikan Allah akibat dosa. Ia menulis: sesudah mereka berdosa, mata mereka terbuka... Sekarang mereka telah mengetahui yang baik dan yang jahat... Di bawah suasana pertentangan dengan Allah mereka harus menghadapi kebenaran tentang siapa mereka yang sebenarnya, yaitu bahwa tanpa Allah mereka tidak lain daripada debu tanah yang tak berdaya... Sesungguhnya Allah masih tetap sama seperti sebelum kejatuhannya manusa. Tetapi manusia yang sekarang sudah dikuasai ketakutan, tidak bisa tahan lagi tinggal dekat Allah...Kirchberger, Op.Cit, hlm. 25 
[24] Ibid hlm. 27
[25] Suasana terputusnya relasi dengan Allan merembet ke putusnya relasi manusia dengan manusia. Kain dan Habel adalah gambaran putusnya relasi manusia dengan manusia itu sendiri. Ibid, hlm. 31-36
[26] Kirchberger, Op.Cit, hlm. 100
[27] Ini merupakan fenomena yang khas dalam kemodenran. Bdk. Dr. Petrus Maria Handoko, Op. Cit, hlm 61-62
[28] Kierchberger, Op.Cit, hlm 99
[29] Kirchberger, Op.Cit., hlm. 84
[30] Ibid, hlm. 85
[31] Kirchberger, Op. Cit, hlm. 104
[32] Kleden, Op.Cit, hlm. 327
[33] Kirchberger, Op.Cit, hlm. 106
[34] Kirchberger, Op.Cit, hlm. 105
[35] Kirchberger, Op. Cit, hlm. 97
[36] Ibid, hlm. 106
[37] Tentang dengan alam telah dibahas dalam presentasi bersama.
[38] Kleden Op. Cit, hlm. 328
[39] Bdk. Dr. Petrus Maria Handoko, Op.Cit, hlm. 62
[40] Kleden, Op.Cit., hlm. 325
[41] Ibid
[42] Yohanes Paulus II, Menjadi Manusia Baru dalam Kristus: Yubelium Agung Tahun 2000 (Ed. Paul Thigpen), (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 77
[43] Dr. Petrus Maria Handoko, Op.Cit, hlm. 61
[44] Yohanes Paulus II, Op.Cit, hlm. 77