Allah yang Menderita sebagai Kekuatan untuk
Melawan Penderitaan
1. Pengantar
Tema
penderitan merupakan tema yang menggelisahkan. Setiap perjumpaan dengan
penderitan seringkali melahirkan kepedihan dan rasa putus asa oleh mereka yang
mengalaminya. Banyak pemikiran telah berkembang guna mencoba memahami arti dan
makna penderitaan. Gereja sendiri misalnya mengajarkan bahwa Allah menciptakan
dunia dan manusia karena kebaikan-Nya dan untuk membagikan kebahagiaan-Nya
sendiri.
Sungguh pun demikian, berhadapan dengan penderitaan
pelbagai teori dan ajaran tetap tidak menutup seluruhnya penderitaan sebagai realitas
yang menggelisahkan umat manusia.
Dalam
perspektif kristiani, konsep penderitaan tidak dapat dipisahkan dari kenyatan
dosa. Dosa merupakan akar penderitaan. Meski demikian, di sisi lain pemahaman
penderitaan dalam Kitab suci juga memperlihatkan adanya penderitaan yang muncul
bukan karena akibat dosa. Dalam dua konteks penderitaan ini, iman kristiani
menemukan dalam diri Krsitus yang menderita sebuah dorongan untuk berkanjang
dalam penderitaan. Paper ini mencoba melihat konsep penderitaan dalam
hubungannya dengan Allah yang menderita. Allah yang menderita coba dilihat
sebagai dasar bagi manusia dalam menjalani penderitaannya. Sebelum sampai pada
usaha melihat konsep Allah yang menderita sabagai kekuatan bagi manusia melawan
penderitaan, maka penting terlebih dahulu melihat tema penderitaan dalam Kitab
Suci dan Tradisi Kristiani.
2. Penderitaan dalam Kitab Suci dan Tradisi Kristiani
2.1 Perjanjian Lama
Kitab
pertama yang bergulat dengan persoalan penderitaan adalah Kitab Kejadian. Dalam
Kitab ini, kita menemukan sejumlah pertanyaan mengenai penderitaan dan
kehidupan penuh perjuangan yang terjadi pada diri Adam dan Hawa setelah lepas
dari keadaan berahmat
. Adam
dan Hawa merupakan mahluk kesayangan Allah namun karena memilih untuk mengikuti
kehendaknya sendiri mereka terpisah dari situasi berahmat. Tafsiran Kej.
2:4b-3:24
memperlihatkan bahwa manusia sebagai mahluk yang penuh konflik dan keretakan
dalam dirinya. Tetapi situasi bukan karena manusia diciptakan dalam kondisi
yang demikian, tetapi lahir dari kesalahan manusia.
Kesalahan manusia itu terutama tampak di mana dia
tidak percaya dan curiga kepada Allah. Ketidakpercayaan dan curiga akan Allah
membawa manusia jatuh ke dalam dosa dan secara tragis merubah gambaran manusia
tentang Allah. Allah menjadi musuh yang
mengancam manusia dengan kematian, sehingga manusia tidak dapat berbalik lepada
Allah. Dengan kata lain, manusia akhirnya sungguh secara tragis terkurung dalam
keadaan yang Malang. Dosa menimpa inti pribadi manusia dan itu dialami dalam
hal-hal yang eksitensial, di mana manusia akan mengalami banyak kesusahan dan
bukannya kebahagiaan seperti yang dimaksudkan Allah.
Wanita misalnya harus menderita karena melahirkan dan pria mengalami
penderitaan dalam usahanya untuk mengolah dunia.
Akan tetapi, gambaran Perjanjian Lama
rupanya tidak hanya menampilkan penderitaan sebagai konsekuensi dosa. Terdapat
gambaran Kitab Suci yang memperlihatkan fakta penderitaan yang tidak berkaitan
dengan dosa. Karena itu, harus diakui bahwa selain dosa, ada hal-hal lain yang
menyebabkan penderitaan.
Rasa sakit karena memasuki masa tua misalnya. Rasa sakit ini bukan karena
kesalahan manusia, sebaliknya menjadi tanda keterbatasan manusia.
Dalam kacamata iman Perjanjian Lama,
penderitaan dipandang sebagai rintangan.
Hal ini hendak menegaskan bahwa penderitaan dalam dirinya sendiri bukanlah
tujuan yang hendak dicapai oleh manusa. Itulah sebabnya, iman Perjanjian Lama
tidak memberi toleransi bagi penderitaan dan justru menganjurkan usaha untuk
mengatasinya. Itulah sebabnya, dalam terang iman yang demikian, para imam, nabi
dan orang bijak menyadari adanya nilai kehidupan yang hadir pada saat orang
mengalami penderitaan. Nilai-nilai itu misalnya nilai silih dan pendewasaan,
permurnian ( Yer 9:6; Mzm 65:10), nilai edukatif (Ay32-37) seperti teguran
seorang Bapak (Ul 8:5; Keb 3:10). Dengan demikian, tampak ada sebuah gambaran
yang bernada positif atas penderitaan, yakni bahwa melalui penderitaan mereka
mencoba mengalami kehadiran Allah. Maka berkembanglah pemahaman bahwa
penderitaan merupakan pencobaan bagi iman orang yang benar, ujian bagi hidup
rohani dan kebenaran dan kasih kepada Yahwe.
2.2 Dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru, realitas
penderitaan dijumpai dalam berbagai peristiwa.
Pertama, penderitaan ditampilkan dalam konteks penderitaan Yesus. Ia menderita
karena tidak dimengerti, pengkhiatan dan permusuhan, ketumpulan dan kekerasan
hati manusia. Kedua, realitas penderitaan dihubungkan dengan para murid, baik
karena ketidakmengertian akan ajaran Yesus maupun akibat takut dan
dikejar-kejar. Ketiga, realitas penderitaan terungkap dalam peristwa
penderitaan rasul Paulus. Paulus menderita dan menjalani penderitaannya dengan
sabar selama menjalankan pelayanan. (bdk. 2Kor. 6:4-5).
Meski demikian, gagasan Perjanjian
Lama tentang penderitaan yang
dihubungkan dengan dosa tidak hilang begitu saja. Sebaliknya, Perjanjian Baru
juga memperlihat kaitan erat antara penderitaan dan dosa, baik itu dosa pribadi
maupun dosa orang lain. Contoh ketika Yesus menyembuhkan,
Ia mengampuni dosa yang bersangkutan sebelum menyembuhkan badannya (Mk 2:5; Mt
9:2; Lk 5:20). Sebuah tindakan yang menunjukkan beberapa hal;
pertama, menjadikan orang lain
menjadi peka dan menaruh belas kasihan kepada sesamanya yang menderita sehingga
penderitaan dikalahkan oleh kasih, kendatipun pribadi yang menderita kehilangan
harapan, sakit hati, meratapi nasibnya dan sebagainya.
Kedua, menemukan makna dari penderitaan yang dialami
(pergilah dan jangan berbuat dosa lagi).
Ketiga,
kemenangan Yesus atas kejahatan. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa penderitaan
selalu identik dengan dosa karena ada penderitaan lain yang bukan disebabkan
oleh dosa melainkan karena keterbatasan dan orang lain (Mk 3:1-6; Mt 12:10-13).
Gagasan
penderitaan dalam Perjanjian Baru mendapat nilai istimewa dalam hubungannya
dengan salib Kristus. Hal itu terungkap dalam khotbah Yesus tentang pentingnya
untuk memikul salib, yang didasarkan pada kehendak Allah. Yesus sendiri memberi
teladan untuk itu, seperti yang terungkap dalam ketaatan-Nya untuk mati demi
kehendak Bapa. Pemahaman ini membawa konsekuensi logis, yakni bahwa semua murid
Kristus diundang untuk memikul salib dalam kehidupannya sehari-hari. Seruan ini
berlaku untuk semua orang dan dalam semua bentuk penderitaan. Kandungan makna
memikul penderitaan untuk mengikuti Yesus ini adalah untuk menunjukkan bahwa
penderitaan bukan tujuan akhir hidup seorang murid Kristus. Partisipasi dalam
salib Kristus hendak menegaskan bahwa dengan mengambil bagian dalam salib
Kristus setiap murid Kristus mengambil bagian juga dalam kemulian Kristus.
2.3 Dalam Tradisi Gereja
Agustinus dari Hippo (354-430) mengatakan
bahwa penderitaan yang kita alami di dunia ini mempunyai makna. Sebab
penderitaan akan berguna bagi sesuatu yang belum kita kenal seluruhnya. Maka
manusia perlu mengenal rencana Allah,
yang sudah mengatur semuannya pada tempatnya, sehingga semua aspek pengalaman
dapat dinilai secara benar dan tepat. Disamping itu, Ia juga mengatakan bahwa
ada penderitaan yang berada di luar rancangan Allah untuk mewujudkan dunia yang
harmonis. Sebab di dalam dunia yang diciptakan, dapat saja terjadi hal-hal yang
tidak direncanakan dan dikehendaki Allah. Namun sebagai pencipta, Allah
memiliki kesanggupan untuk memulihkan penderitaan itu dengan menjadikannya
sebagai sarana pembelajaran dan pertobatan, darinya manusia semakin mendalami
rahasia ciptaan dan menekuni jalannya menuju Allah.
Ireneus
tidak menyangkal gagasan yang dikemukan oleh Agustinus. Ia mengatakan bahwa
manusia selalu memandang penderitaan secara negatif. Mereka mempersoalkan
penderitaan dan berupaya untuk menciptakan banyak ketenangan dalam diri.
Padahal pada dasarnya penderitaan bukanlah hukuman tetapi syarat mutlak
pertumbuhan kita menjadi anak-anak Allah. Penderitaan mendorong
ciptaan-ciptaan-Nya mencapai tujuan kepenuhan dan kesempurnaan akhir dalam
mengasihi dan melayani Dia. Yohanes Krisostomus mengatakan bahwa
penderitaan mempunyai fungsi untuk memberi silih, menguduskan dan memuliakan.
Maka kemartiran dipandang sebagai jalan untuk mengikuti Yesus, awal dari
kemuridan yang sempurna. Sehingga salib dilihat sebagai bentuk sempurna
eksistensi Kristiani.
2.4 Konsili Vatikan II
Penderitaan
membuat manusia menyerupai Kristus (AA 16)
.
Untuk menyerupai tugas Yesus Kristus Gereja harus melanjutkan karya
penyelamatan Yesus Kristus di dunia ini demi tercapainya Kerajaan Allah.
Harapan ini harus benar-benar terlaksana dalam sejarah (bdk. LG 1,9,48; GS:
1,11,45). Kepada mereka yang menderita, Konsili menyeruhkan supaya mereka
menyatukan diri dengan sengsara dan kematian Yesus demi kebaikan mereka, gereja
dan umat manusia ( LG 11). Bahkan dalam diri mereka yang miskin dan menderita
terdapat gambaran diri Yesus (LG 7).
2.5 Paus Yohanes Paulus II
Paus
Yohanes Paulus II dalam ensikliknya tentang Salvifici Doloris mengupas makna
penderitaan menurut gambaran PL dan PB. Pertama,
penderitaan moral dihubungkan dengan rasa sakit di bagian tertentu; tulang (
Yes 38:13, Yer 23:9), ginjal (Mzm 73:21, Ay 16:13), Lever (Rat 2:11) sebab tak
dapat disangkal bahwa penderitaan moral mempunyai unsur fisik, dan kerapkali
mencerminkan keadaan seluruh organisme ( Art. 6). Kedua, Penderitaan terjadi karena kejahatan karena kekurangan dari
kebaikan/dosa. Ketiga, perderitaan
merupakan suatu ujicoba (bdk. Kisah Ayub). Keempat,
penderitaan membangkitkan rasa belaskasihan karena mengenakan penderitaan
sesama pada dirinya sendiri seperti yang dilakukan Yesus, rasa hormat dan
menimbulkan rasa takut. Berkaitan dengan penderitaan menimbulkan rasa
takut, kita memerlukan dorongan hati
untuk mengatasi rasa takut dan iman. Kelima,
penderitaan dikalahkan oleh kasih Allah dan Yesus Kristus akan dunia. Dimana
Yesus berperan penting lewat kematian-Nya di salib dan kebangkitan-Nya. Keenam, semua orang Kristen dipanggil
untuk ikut ambil bagian dalam penderitaan Yesus Kristus, lewat mana penderitaan
manusiawi ditebus. Itu berarti menjadi terbuka pada karya kekuatan Allah yang
menyelamatkan. Maka seseorang harus tabah, berani, beriman dan berpengharapan. Ketujuh, penderitaan menjadikan kita
memiliki kematangan rohani.
3. Allah yang Menderita dan Dasar bagi
Manusia Menghadapi Penderitaan
Setelah melihat arti penderitaan
dalam perkembangannya, dalam bagian ini kami mencoba memahami makna penderitaan
tersebut dalam hubungannya dengan Allah yang Menderita. Allah yang menderita
yang dimaksud di sini bukan dalam arti membongkar pelbagai atribut tentang
Allah yang Mahakuasa, yang karena berhadapan dengan pelbagai penderitaan harus
dipikirkan ulang.
Allah
yang menderita di sini secara sederhana bermaksud untuk mengungkapkan bahwa
Allah dalam cinta-Nya telah menciptakan manusia. Tetapi manusia yang pada
giliranya menolak Allah dan jatuh dalam dosa. Dosa mengakibatkan manusia hidup
dalam penderitaan. Allah
tidak ingin
manusia tenggelam dalam dosa yang melahirkan penderitaan. Dengan maksud itu,
Allah mengutus Putra-Nya untuk membawa kembali manusia kepada relasi yang
sejati dengan Allah.
Kristus merupakan
revelasi cinta Allah dan Salib Kristus merupakan puncak revelasi cinta Allah.
Dalam Salib inilah kita menemukan Allah yang menderita karena Dia mencinta.
Namun, mengingat bahwa penderitaan
manusia tidak melulu karena dosa, melainkan juga karena akar dan sebab-sebab lain,
maka perlu kiranya makna Allah yang menderita ini dikonfrontasikan penderitaan
tersebut. Maka bagian ini akan membahas dua hal penting. Pertama, Allah yang menderita dalam Salib
Kristus: Silih atas Dosa Manusia. Kedua, Allah yang Menderita dalam Salib Kristus:
Tanda Solidaritas Allah
3.1 Allah yang Menderita dalam Salib
Kristus: Silih atas Dosa Manusia
Penderitaan dalam konteks Teologi
penciptaan tidak dapat dilepaskan dengan persoalan dosa dan kebebasan manusia(bdk.
GS 13).
Manusia
diciptakan seturut cintra Allah dan itu terungkap dalam kebebasannya. Konsili
Vatikan II dalam dokumen Gaudium et Spes 17 menulis: “Kebebasan yang sejati
merupakan tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia. Sebab Allah
bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri, supaya ia dengan
sukarela mencari Penciptanya, dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas
mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan.” Selanjutnya teks
menampilkan konsekuensi pemberian kebebasan pada manusia. Konsili menulis:
“Maka martabat manusia menuntut, supaya dia bertindak menurut pilihannya
yang sadar dan bebas, artinya digerakan dan
didorong secara pribadi dari dalam, dan bukan karena ransangan hati yang buta,
semata-mata karena paksaan dari luar.” Di sini terungkap bahwa kebebasan sejati
manusia terletak pada sikapnya yang tepat dalam memahami arti kebebasannya yang
diberikan Allah, yakni bahwa hidupnya dalam kebebasannya terarah kepada sang
Pencipta. Dengan demikian, panggilan manusia pada hakekatnya adalah menjadi
serupa dengan Allah.
Akan tetapi, manusia memilih untuk
mengikuti kehendaknya pribadi.
Dia memilih untuk mengikuti kehendaknya sendiri dan melangkah ke luar dari
panggilan dasariahnya untuk terarah kepada Allah. Sikap manusia yang memilih
mengikuti kehendaknya sendiri membawa manusia kepada dosa. Dosa merupakan
realitas putusnya relasi manusia dengan Allah. Karena kehendaknya sendiri
manusia merusak relasinya dengan Allah sehingga keberadaannya merupakan
keberadaan yang terarah kepada penghancuran relasi dengan Allah, diri sendiri,
sesama dan alam. Manusia, karena pilihannya yang demikian menghasilkan
penderitaan. Sebab dengan tidak hidup menurut rencana dia diciptakan manusia
menghakimi dirinya diri sendiri. Dan sikap seperti ini lambat laun merusak
hidup dan kebahagiaan manusia.
Jatuhnya manusia dalam dosa membuat manusia hidup dalam realitas kemalangan atau penderitaan. Sebab dengan
dosa manusia melawan Allah yang sejak awal menciptakan manusia dalam keadaan yang
baik. Dosa membuat manusia
kehilangan gambar Allah yang mencintai. Dosa membuat manusia tidak sanggup
melihat Allah dalam hakikiatnya yang terdalam sebagai cinta. Manusia menolak
memandang Allah
sebagai dasar hidupnya. (GS 13). Lebih lanjut, hilangnya gambaran Allah sebagai
penjamin dan dasar hidupnya membawa kepada konsekuensi pada gambaran Allah
dalam hubungannya dengan penderitaan. Manusia akibat dosa tidak sanggup melihat
Allah dalam kepenuhan cinta-Nya.
Maka berhadapan dengan penderitaan muncul sikap manusia yang memandang
penderitaan sebagai kemurkaan Allah. Manusia tidak dapat mengakui bahwa sesungguhnya
dia sendirilah yang menutup sumber kehidupan bagi dirinya sendiri. Manusia
tetap tegar tengkuk dalam menilai Allah. Baginya, Allah adalah musuhnya, dan
berhadapan dengan Dia, manusia diliputi ketakutan dan selalu membenarkan diri.
Lebih
lanjut, dosa membuat manusia hidup dan berkembang menjadi mahluk yang hanya
mengandalkan dirinya sendiri. Manusia dengan keliru melihat Allah sebagai pihak
yang membatasi kehidupannya. Dia menjadi mahluk yang ingin untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri dan lepas dari Allah. Konsekuensi pendewaan atas dirinya
sendiri manusia akhirnya berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri dengan cara
mengambil segala sesautu yang dibutuhkan dari orang lain.
Oleh karena itu, dalam diri manusia berkembang kehausan tak terbatas akan kuasa
dan kekayaan dan pada gilirannya memandang manusia yang lain sebagai saiangan. Manusi
berusaha untuk menguasai orang lain dan melindungi dirinya sendiri. Akibatnnya
dalam kehidupan umat manusia muncul penderitaan. Manusia satu samalain entar
secara perorangan maupun perorangan menjadi musuh.
Akibat
semua hal di atas adalah bahwa manusia akhirnya tidak dapat keluar dari pola
lingkaran setan dengan dayanya sendiri. Manusia akan terus hidup dalam penderitaan
dan kemalangan. Dan selama itu pula, manusia memiliki gambaran Allah sebagai
Allah yang negatif dan tidak terlibat dalam perjuangan manusia. Allah
dilepaskan dari penderitaan manusia, dan manusia berusaha mengatasi penderitaan
dengan usahanya sendiri.
Meski
demikian, Allah yang mencipta manusia dan mencintai manusia tidak luruh dalam
gambaran keliru manusia. Allah yang dalam kedalamannya mencintai manusia dan
menghendaki manusia hidup dalam kebahagiaan (bdk. GS 12). Dengan demikian, kita
memahami bahwa dalam konteks penderitaan, Allah sesungguhnya bukanlah Allah
yang murka terhadap manusia. Sebaliknya, dalam konteks penderitaan Allah
merupakan Allah yang berbelas kasih, Allah yang mencinta. Puncak dari pernyataan belaskasihan Allah
adalah dalam perutusan sang Putra, Yesus Kristus. Kristus hadir dan mematahkan
semua gambaran manusia yang negatif terhadap Allah. Dalam karyanya Ia telah
menyembuhkan orang berdosa dan menderita akibat dosa (Mk 2:5, Mat. 9:2, Luk.
5:2). Sikap Yesus ini hendak menunjukkan suatu gambaran yang positif tentang
Allah yang disapa-Nya sebagai Bapa.
Yesus ingin menampilkan Allah sebagai Bapa yang mengasih manusia dan mendekati
manusia serta ingin berdamai dengan manusia. Allah dalam Kristus adalah Allah yang
berbelaskasih. Allah menampilkan diri sebagai Allah yang mencintai. Melalui
Kristus, Allah mengundang manusia untuk sungguh melihat bahwa dalam penderitaan,
Allah adalah Allah yang ingin menyelamatkan. Kehadiran Kristus seperti ini
membuka horizon baru bagi penderitaan manusia, bahwa Allah tidak pernah
meninggalkan manusia. Terhadap mereka yang menderita dan berdosa, Tuhan tetap
menampilkan diri sebagai Allah yang baik, meskin manusia memilih menjauh dari
Allah. Seluruh sikap Yesus ingin memperlihatkan sikap Allah Bapa yang baik dan
positif terhadap semuar orang dan menampilkan Allah yang hendak memperbaiki dan
memulihkan situasi manusia yang meneka dan menyusahkan mereka.
Puncak
daya penyelamatan Allah dalam Kristus terungkap dalam Salib Kristus. Melalui
penderitaan di salib, Allah dalam diri Putranya menyingkapkan cintanya yang
terdalam bagi manusia yang menderita akibat dosa dengan cara memilih
mengorbankan Pura-Nya. Allah
memilih jalan menderita di Salib untuk mengangkat manusia dari dosa dan penderitaannya. Apa yang terungkap dalam di sini
adalah bahwa penderitaan manusia dalam salib Kristus tidak memiliki tujuan di
dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, di dalam dirinya manusia memiliki harapan akan berakhirnya
penderitaan. Lebih
jauh, penerimaan akan salib berbuah pada pembaharuan gambaran akan Allah. Lewat
Salib Kristus, Allah hendak mengungkapkan bahwa gambaran manusia akan Allah
sebagai musuh sesungguhnya tidak beralasan. Dosa yang telah mengaburkan
gambaran manusia tentang Allah yang ingin membalaskan kejahatan dengan hukuman
direstorasi oleh Kristus melalu salibnya.
Namun, restorasi yang dibuat oleh Allah lewat penderitaan Kristus Putranya
tidak berhenti pada pembaharuan akan gambaran Allah. Dengan memilih menderita
dalam Putra-Nya, Allah hendak membangun kembali persahatan dengan manusia
seperti sebelum manusia berdosa. Bahkan Allah dalam Kristus yang menderita
hendak mengatasi maksudNya semula menciptakan manusia. Dia sekarang tidak hanya
hendak menciptakan sesuatu yang mengagumkan seperti saat Dia menciptakan dunia
dan manusia, tetapi membaharuinya secara lebih mengagumkan.
Inilah makna Gereja yang mengalunkan madah pujian mengenai “felix culpa,”
kesalahan yang menguntungkan.
Salib
Kristus yang menjadi tanda pembaharuan di sini dengan demikian memiliki makna
dan nilai silih. Tetapi silih yang dimaksud di sini bukan dalam tataran
pemahaman teori silih dari Anselmus. Teori ini menjelaskan bahwa karena dosa
manusia, Allah menjadi marah dan tersinggung. Untuk memulihkan hubungan dengan
Allah, manusia harus membayar denda. Namun manusia yang fana dan terbatas ini
tidak sanggup untuk membayar silih atas dosa-dosanya itu. Karena itu, Putra
Allah menjadi manusia untuk membayar silih atas nama manusia, dan sebagai Putra
Allah, Ia mampu membayar silih yang tak terbatas dengan hidup-Nya yang
terbatas. Menurut kirchberger,
pemahaman silih seperti ini terlalu bernada Yuridis dan mengabaikan asperk
personalitas yang justru sangat kuat ditekankan oleh Kitab Suci.
Silih
yang dimaksud di sini dapat diumpamakan dengan silih dalam Perjanjian Lama di
mana darah menjadi tanda utama dalam kurban silih. Dalam Imamat terungkap makna
silih ini demikian: “Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya dan Aku telah
memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi
nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa. Itulah
sebabnya Aku berfirman kepada orang Israel: Seorang pun di antaramu janganlah
makan darah. (Im. 17:11-12). Menurut Kirchberger, gambaran silih di sini bukan
untuk menunjukkan bahwa Allah murkan. Sebaliknya, Allah melihat bahwa manusia
demikian rusak akibat dosa, karenanya Dia ingin menawarkan sumber hidup baru
bagi manusia dalam kurban darah. Dalam kurban ini, Allah memberikan milik-Nya
yaitu darah, lambang hidup, di atas mezbah, agar manusia diperdamaikan. Salib
Kristus dipahami dalam konteks ini. Artinya, Yesus sebagai Putra Allah rela
menjadi kurban dan mencurahkan darah-Nya sebagai sumber hidup baru bagi
manusia. Salib menjadi bukti bahwa Allah rela melalui Putra-Nya menjadi sumber
hidup bagi manusia, sehingga manusia memiliki hidup dalam segala kelimpahan.
Salib Kristus tidak hanya membawa dimensi
kembalinya manusia kepada Allah. Tetapi pada saat yang sama, Salib Kristus
menjadi dasar untuk berharap adanya perdamaian antara manusia dengan sesamanya. Allah yang menderita membuka harapan bagi
perdamaian antra manusia. Artinya terbuka harapan bahwa pihak yang menderita
oleh ulah manusia yang lebih mementingkan kepentingannya sendiri, mau menerima
dan membanguh perdamaian bersama.
3.2. Allah yang Menderita dalam Salib Kristus: Tanda Solidaritas Allah
Akan tetapi muncul soal bagaimana dengan
penderitaan yang tidak berakar pada dosa, seperti yang ditampilkan dalam diri
Ayup? Apakah salib Kristus sebagai tanda Allah yang menderita dapat menjadi
dasar baginya untuk berkanjang dalam penderitaan. Hal ini kiranya perlu
dipahami secara tepat.
Dalam konteks ini barangkali secara tepat
kita melihat arti anjuran konsili yang senantiasa melihat penderitaan dalam
hubungann dengan Krsitus. Situasi penderitaan secara antropologis harus
dipahami secara kristologis. Dengan demikian, senada dengan anjuran
konsili itu berarti dalam seluruh dinamika penderitaan manusia, manusia perlu
untuk menyatukan diri dengan sengsara dan kematian Yesus(LG 11). Itu berarti
Salib Kristus sebagai revelasi cinta Allah juga berlaku bagi penderitaan yang
seperti ini. Sebab, di salib Kristus telah menampilkan Allah yang menderita
karena cinta dan dengan demikian membuka harapan bahwa penderitaan bukan
sesuatu yang kekal. Radikalitas Allah yang menderita di sini terungkap dalam
kenyataan bahwa dalam penderitaan kita, Allah mengambil bagian atau solider
dengan penderitaan itu dengan memilih menderita. Kalau Allah telah memilih
untuk menanggung penderitaan maka itu berarti martabat manusia merupakan
martabat yang bernilai.
Inilah yang kemudian menjadi dasar dari manusia untuk resisten terhadap
penderitaan. Bagi manusia, bersedia menanggung penderitaan berarti siap melewan
penderitaan, sekaligus juga
mengungkapkan dalam dirinya sikap penyerahan diri. Artinya penderitaan sekarang
dilihat sebagai persembahan diri manusia kepada Allah.
Penderitaan sebagai penyerahan diri bukan
berarti manusia bersikap pasif. Sebaliknya, secara aktif menerima penderitaan
atau bergumul dengan penderitaan. Sebab, di balik penderitaan, seperti yang
ditampilkan oleh Kristus terkandung rahmat. Artinya, di balik penderitaan,
Allah yang telah menderita dalam salib Kristus memberikan harapan pada manusia
bahwa penderitaan tidak menjadi tujuan sebaliknya menjadi sarana kesempurnaan. Melalui penderitaan yang dipandang dari
perspektif salib Kristus, terungkap
sebuah undangan bagi manusia untuk mengalami penderitaannya sebagai
partisipasi dalam penderitaan Kristus. Justru di sinilah terungkap keyakinan
dasar kristiani, yakni keyakinan bahwa salib membawa manfaat atau arti bagi
manusia. Di sini manusia dipanggil untuk bergumul dengan penderitaan dalam
perspektif Kristus yang memberi penebusan.
Dengan demikian, penderitaan yang tidak
berakar pada dosa yang tidak juga sepenuhnya dapat dipahami akarnya tidak
lantas tidak menemukan maknanya dalam Salib Kristus sebagai tanda Allah yang
menderita. Setiap penderitaan bagi yang menaruh iman akan Kristus meminta
darinya sikap untuk mengikuti Kristus dalam jalan salibnya. Salib dengan
demikian tidak dapat tidak menjadi bagian yang intergral dari proses
pendewasaan dalam iman. Penderitaan menjadi realitas yang tidak dapat
dipisahkan dan karenanya tidak dapat dihindari. Penyerahan diri kepad Kristus
menuntut manusia untuk mengambil bagian dalam penderitaan-Nya dengan memikul
dengan setia penderitaannya.
4. Penutup
Dosa membuat membuat manusia hidup dalam realitas penderitaan. Dalam
penderitaan akibat dosa, manusia sering kehilangan gambaran Allah sebagai Allah
yang mencintai manusia. Penderitaan kerapkali dipandang sebagai balasan dari
Allah dan menilai Allah menghendaki penderitaan sebagai balasan atas dosa. Dosa demikian kuat membuat Allah sulit
diterima dalam realitas penderitaan.
Kristus merupakan kehadiran Allah di
dunia. Kehadiran-Nya mempresentasikan kehadiran Allah yang sesungguhnya
menghendaki manusia hidup dalam kebahagiaan. Puncak seluruh revelasi Allah
dalam Kristus hadir dalam peristiwa Salib. Dalam salib Kristus Allah hadir
sebagai Dia yang menderita untuk mengembalikan manusia ke martabatnya sebelum
berdosa, bahkan tidak itu saja mengangkat sekaligus memberi arti baru manusia
sebagai anak Allah dalam Kristus. Selain itu, Salib Kristus sebagai Allah yang
menderita juga menjadi tanda solider Allah atas manusia yang menderita. Lewat
jalan menderita, Allah menampilkan bahwa manusia memiliki nilai yang luhur.
Solider Allah yang mau menderita inilah yang menjadi dasar bagi manusia untuk
bertahan dalam penderitaan.
Daftar Pustaka